
Pihak Dikbud NTB mengakui adanya keterlambatan kedatangan alat peraga SMK untuk beberapa item. Selain itu pelatihan penggunaan alat peraga dan uji fungsi alat itu belum dilaksanakan. Rekanan diberi perpanjangan waktu selama 90 hari. Pada bulan Maret ini ditargetkan semua harus tuntas.
Demikian disampaikan Kepala Dinas Dikbud NTB, Drs. H. Muh. Suruji, ditemui di ruang kerjanya, Jumat, 23 Desember 2018. Menurutnya, alat yang bermasalah tinggal satu alat. Ada dua item alat yang didatangkan dari luar negeri, dari tujuh item alat peraga SMK. Alat itu tidak ada di Indonesia dan saat ini masih tertahan di Bea Cukai. ‘’Importir janji minggu ini bisa sampai,’’ katanya.
Selain itu diakuinya pelatihan untuk penggunaan alat peraga juga belum dilaksanakan. Termasuk juga uji fungsi alat peraga belum dilaksanakan. Alasannya karena daya listrik di SMK belum mencukupi. Pihaknya sudah meminta sekolah untuk menambah daya listrik.
Suruji menjamin tidak ada kerugian negara, karena pembayaran untuk alat peraga SMK itu belum dicairkan. ‘’Kami jamin tidak ada kerugian negara karena masih kita pegang (pembayaran). Kita pegang kuat-kuat sampai semua beres,’’ tegasnya.
Rekanan diberi perpanjangan maksimal selama 90 hari sesuai dengan aturan. Suruji menegaskan pada bulan Maret ini seluruh alat peraga SMK termasuk berbagai persyaratan lainnya harus tuntas. ‘’Peralatannya, uji fungsinya, dan pelatihannya harus tuntas semua,’’ ujar Suruji.
Seperti diketahui, pengadaan alat peraga SMK oleh Dikbud Provinsi NTB masih jadi perbincangan. Sebab rekanan belum memenuhi kewajibannya mendatangkan alat peraga sesuai kontrak.
Putus kontrak menurut Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) NTB, Heru Satriyo sudah memenuhi syarat. Pertama, karena empat rekanan yang melakukan pengadaan untuk 21 paket itu belum memenuhi kewajibannya sesuai kontrak, per 31 Desember 2017. Alasan kedua, diduga ada ketidakberesan pada pengadaan ini.
Katanya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak membuat adendum, justru memberi kesempatan perbaikan kepada rekanan selama 90 hari untuk melakukan perbaikan.
Dalam ketentuan Perpes Nomor 4 tahun 2015 sesuai perubahan keempat Perpres 54 tahun 2010, maksimal perpanjangan waktu 50 hari dengan denda Rp 1000 per hari. Namun PPK diduga melanggar Perpres sehingga memberi kesempatan perbaikan selama 90 hari tanpa melalui mekanisme adendum.
‘’Atas alasan alasan itu, harusnya rekanan sudah diputus kontrak,” kata Heru. Menurutnya, harus ada sikap tegas dari PPK untuk mengeluarkan kebijakan pemutusan kontrak dimaksud. Sebab jika tidak, berpotensi terjadi pelanggaran berlanjut.